Sabtu, 11 Februari 2012

CERPEN; Menyusuri Jalan untuk Sesuap Nasi



Mungil, nama yang sering dipanggil oleh teman-temannya. Tak henti-hentinya ia memandang sekumpulan umat di pemberhentian berwarna merah. Wajah yang kusam mengingatkan ku pada sosok pribadi kecil yang suka bermain tanah. Kumal, kusut, dan terkadang harus menerima cercaan dari orang tua. Begitulah keadaan ku sebagai si Mungil.
 Ingin rasanya kebahagiaan mereka hadir dalam mimpiku.  Akan tetapi, tak banyak jiwa  yang bersih membentangkan keluasan tanganya atas kehadiranku. Aku sedih harus selalu berdampingan dengan mu wahai pujangga hati. Engkau membawa ku ke tepi jalan untuk menukarkan lantunanmu dengan sekeping logam yang berharga. Apakah hari-hari impian itu akan datang suatu hari nanti?. Kemungkinan hati kecilku tak akan menerima. “Greng…greng”, itulah setidaknya yang bisa ku lantunkan untuk anda semua, lewat nada pujangga hati yang ku bawa ini. Keluarkan logam kecil yang ada di kantong mu walaupun hanya sekedar tempat pembuangan tak berharga di sisimu. Dari pada logam itu terbuang tanpa arah dan tujuan.
Harapan demi harapan pun terus bergulir untuk meningkatkan taraf kehidupan ini. “Baik lah Bapak-bapak, Ibu-ibu, dan semua yang ada di sini. Hanya sekedar untuk menghibur anda semua, izinkankanlah kami membawakan sebuah lagu untuk menemani perjalanan anda yang semoga perjalanan anda ini pun selamat sampai tujuan”. Berulang kali aku mendengar suara yang mirip ini ketika berada di metro mini. Tak tega hatiku merasakan penderitaan mereka, maka aku berikan secarik kertas bernilai emas bagi nurani mereka. Padahal, secarik kertas itu hanya bergambarkan Kapitan Pattimura dengan senjatanya yang berjarak pendek. “Enggak punya”, sebagian mulut berkata. Sebagian tangan pun mulai mengangkat dengan mulut terdiam atas tanda tak bisa memberi. Sedih pun mulai terasa, tapi tak punya pilihan jika orang lain tidak ingin mengulurkan tangannya.
 Satu hari, dua hari, hingga berbulan-bulan, dan bahkan seumur hidup, perjalanan dan nasib yang sama pun harus terus mengikuti mereka. Terkadang, makanan sekali hantam bisa disisakan untuk kehidupan esok walaupun sudah berbau tak sedap. Namun itulah yang bisa dilakukan sambil menunggu malaikat datang dari kejahuan hanya untuk mengabarkan jiwamu akan terpisah dari tubuhmu.
Tubuh ini terasa tak berdaya. Setiap rembulan muncul, pasti akan memandang ku di balik teras sebuah istana yang megah atau pun yang kumuh. Mata terpejam bersama dengan refleksi tubuh yang mendengkur di atas karung. Tulang pun mulai merasakan keindahan gigitan makhluk bersayap dan makhluk yang tak terlihat yang menghembuskan nafas dingin mereka. Tak heran jika mereka jarang merasakan sakit yang amat di badan, karena semua kebencian umat sudah menjadi sahabat bagi mereka.
Keesokkan harinya, lagi-lagi aku datang dengan badan yang membungkuk dengan secangkir kosong di pagi hari. Aku berjalan menyusuri terotoar umum sambil meminta belas kasihan agar ada yang mengisi cangkirku dengan emas murni. Aku juga berjalan dengan baju lusuh menghampiri manusia harapan yang sedang memasukkan suatu yang nikmat dalam mulutnya. Akan tetapi, usaha itu hanya bisa mendapatkan beberapa keping logam kecil dan Kapitan Pattimura. “Alhamdulillah”, hati kecilku bersyukur.
Suatu hari nanti datang lah seorang pahlawan muda yang punya pemikiran besar, ia kerap disebut dengan Pahlawan. Dia ingin membuat forum kesejahteraan dengan tekad yang bulat dan penuh keikhlasan. Ia adalah anak orang tak biasa tapi biasa. “Aku bercita-cita ingin menyelamatkan hidup saudara-saudaraku dari sekarang. Biarkanlah harta dan ragaku direngut habis oleh perjuangan ini, asalkan mereka sejahtera”. Begitulah tutur katanya. Setelah begitu lama manusia setengah gila ini ditunggu-tunggu kedatangannya, akhirnya ia pun datang dengan membawa keberanian di tangan kanannya dan sebuah otak yang basah ditangan kirinya. Hanya beberapa orang saja yang lumayan suka dengan modelnya dan ikut serta dalam perjuangan itu. Akantetapi, “Aku harus yakin dan bisa”, kata-kata yang selalu datang menyemangatinya.

Dari mulai sebiji jagung, hingga akhirnya sampailaih pada bola dunia. Selangkah demi selangkah, serintang demi serintang, dan pada akhirnya pencapaian demi pencapaian pun datang menghampiri. Setiap hari Pahlawan berjalan berkeliling desa di samping waktu luasnya. Ia hanyalah seorang Guru muda yang aktif berfikir dan berbuat. Tak kuasa melihat penderitaan di sampingnya, ia pun berjuang mati-matian untuk memulihkan keadaan. Dari mulai biaya pribadi hingga ia datang ke Departemen Sosial untuk meminta dukungan yang lapang. Tak heran jika kedatangan pertamanya dianggap sebagai angin yang berlalu. Akan tetapi, semangat tak akan surut dan akal tak akan lenyap. Ia akan selalu datang di waktu luangnya untuk menuntut keadilan. Hingga pada akhirnya Departemen Sosial pun percaya bahwa ia sungguh-sungguh dan bisa. Dengan selembaran proposal penyelamat dari bibir, Departemen Sosial pun mulai menyisihkan selembaran merah dan biru yang berlipat.  Sejak itulah perubahan demi perubahan tercapaikan dan hal itu pula tidak hanya berlaku di daerah terpencil, tapi hingga ke kota yang luas. Begitu pula, jejaknya yang mulia telah banyak dicontoh oleh kalangan tingkat bawah dan atas yang diberi ilham dalam hatinya.
Ia pun mulai membangun perusahaan dengan lembaran sisihan Departemen Sosial yang ia kelola. Sehingga dengan hal itu, ia tak ingin selalu berpangku tangan dengan Departemen Sosial yang selama ini turut berduka dan mengulurkan keluasan rezekinya. Hal itu pun membuahkan hasil yang sempurna. Puluhan perusahaan sudah terbangun tanpa ia meminta gaji se-logam pun. Hanya untuk saudara katanya.
Hari kebahagiaan terus bergulir menghantarkan kesejahteraan pada masyarakat. Setiap hari, bulan, tahun, dan bahkan berabad-abad. Daerah trotoar pun berubah kosong dan sunyi dari pada lantunan pujangga hati. Begitu pula dengan tempat pemberhentian kampung tengah, ia telah rindu dengan nada tersebut. Akan tetapi, ia lebih bahagia karena mereka bahagia. “Tak ku sangka si Pahlawan itu benar-benar sukses mensejahterakan si Mungil”, kata salah satu tingkat menengah.
Terima kasih pun mulai berentetan memujinya. Akan tetapi, ia tak pernah menghiraukan pujian itu. “Sejahtera kalian adalah sejahteraku. Aku akan selalu berjuang untukmu saudara”, katanya. Bergulir waktu yang begitu lama, tidak pernah lagi ditemukan manusia penjaga jalanan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentarkan Pendapatmu Mengenai Blog Ini