Mungil, nama yang sering dipanggil
oleh teman-temannya. Tak henti-hentinya ia memandang sekumpulan umat di
pemberhentian berwarna merah. Wajah yang kusam mengingatkan ku pada sosok
pribadi kecil yang suka bermain tanah. Kumal, kusut, dan terkadang harus
menerima cercaan dari orang tua. Begitulah keadaan ku sebagai si Mungil.
Ingin rasanya kebahagiaan mereka hadir dalam
mimpiku. Akan tetapi, tak banyak
jiwa yang bersih membentangkan keluasan
tanganya atas kehadiranku. Aku sedih harus selalu berdampingan dengan mu wahai
pujangga hati. Engkau membawa ku ke tepi jalan untuk menukarkan lantunanmu
dengan sekeping logam yang berharga. Apakah hari-hari impian itu akan datang
suatu hari nanti?. Kemungkinan hati kecilku tak akan menerima. “Greng…greng”,
itulah setidaknya yang bisa ku lantunkan untuk anda semua, lewat nada pujangga
hati yang ku bawa ini. Keluarkan logam kecil yang ada di kantong mu walaupun
hanya sekedar tempat pembuangan tak berharga di sisimu. Dari pada logam itu terbuang
tanpa arah dan tujuan.
Harapan demi harapan pun terus
bergulir untuk meningkatkan taraf kehidupan ini. “Baik lah Bapak-bapak,
Ibu-ibu, dan semua yang ada di sini. Hanya sekedar untuk menghibur anda semua,
izinkankanlah kami membawakan sebuah lagu untuk menemani perjalanan anda yang
semoga perjalanan anda ini pun selamat sampai tujuan”. Berulang kali aku
mendengar suara yang mirip ini ketika berada di metro mini. Tak tega hatiku
merasakan penderitaan mereka, maka aku berikan secarik kertas bernilai emas
bagi nurani mereka. Padahal, secarik kertas itu hanya bergambarkan Kapitan
Pattimura dengan senjatanya yang berjarak pendek. “Enggak punya”, sebagian
mulut berkata. Sebagian tangan pun mulai mengangkat dengan mulut terdiam atas
tanda tak bisa memberi. Sedih pun mulai terasa, tapi tak punya pilihan jika
orang lain tidak ingin mengulurkan tangannya.
Satu hari, dua hari, hingga berbulan-bulan,
dan bahkan seumur hidup, perjalanan dan nasib yang sama pun harus terus
mengikuti mereka. Terkadang, makanan sekali hantam bisa disisakan untuk
kehidupan esok walaupun sudah berbau tak sedap. Namun itulah yang bisa
dilakukan sambil menunggu malaikat datang dari kejahuan hanya untuk mengabarkan
jiwamu akan terpisah dari tubuhmu.
Tubuh ini terasa tak berdaya. Setiap
rembulan muncul, pasti akan memandang ku di balik teras sebuah istana yang
megah atau pun yang kumuh. Mata terpejam bersama dengan refleksi tubuh yang
mendengkur di atas karung. Tulang pun mulai merasakan keindahan gigitan makhluk
bersayap dan makhluk yang tak terlihat yang menghembuskan nafas dingin mereka. Tak
heran jika mereka jarang merasakan sakit yang amat di badan, karena semua
kebencian umat sudah menjadi sahabat bagi mereka.
Keesokkan harinya, lagi-lagi aku
datang dengan badan yang membungkuk dengan secangkir kosong di pagi hari. Aku
berjalan menyusuri terotoar umum sambil meminta belas kasihan agar ada yang
mengisi cangkirku dengan emas murni. Aku juga berjalan dengan baju lusuh
menghampiri manusia harapan yang sedang memasukkan suatu yang nikmat dalam
mulutnya. Akan tetapi, usaha itu hanya bisa mendapatkan beberapa keping logam
kecil dan Kapitan Pattimura. “Alhamdulillah”, hati kecilku bersyukur.
Suatu hari nanti datang lah seorang
pahlawan muda yang punya pemikiran besar, ia kerap disebut dengan Pahlawan. Dia
ingin membuat forum kesejahteraan dengan tekad yang bulat dan penuh keikhlasan.
Ia adalah anak orang tak biasa tapi biasa. “Aku bercita-cita ingin
menyelamatkan hidup saudara-saudaraku dari sekarang. Biarkanlah harta dan
ragaku direngut habis oleh perjuangan ini, asalkan mereka sejahtera”. Begitulah
tutur katanya. Setelah begitu lama manusia setengah gila ini ditunggu-tunggu
kedatangannya, akhirnya ia pun datang dengan membawa keberanian di tangan
kanannya dan sebuah otak yang basah ditangan kirinya. Hanya beberapa orang saja
yang lumayan suka dengan modelnya dan ikut serta dalam perjuangan itu. Akantetapi,
“Aku harus yakin dan bisa”, kata-kata yang selalu datang menyemangatinya.
Dari mulai sebiji jagung, hingga
akhirnya sampailaih pada bola dunia. Selangkah demi selangkah, serintang demi
serintang, dan pada akhirnya pencapaian demi pencapaian pun datang menghampiri.
Setiap hari Pahlawan berjalan berkeliling desa di samping waktu luasnya. Ia
hanyalah seorang Guru muda yang aktif berfikir dan berbuat. Tak kuasa melihat
penderitaan di sampingnya, ia pun berjuang mati-matian untuk memulihkan
keadaan. Dari mulai biaya pribadi hingga ia datang ke Departemen Sosial untuk
meminta dukungan yang lapang. Tak heran jika kedatangan pertamanya dianggap
sebagai angin yang berlalu. Akan tetapi, semangat tak akan surut dan akal tak
akan lenyap. Ia akan selalu datang di waktu luangnya untuk menuntut
keadilan. Hingga pada akhirnya Departemen Sosial pun percaya bahwa ia
sungguh-sungguh dan bisa. Dengan selembaran proposal penyelamat dari bibir,
Departemen Sosial pun mulai menyisihkan selembaran merah dan biru yang
berlipat. Sejak itulah perubahan demi
perubahan tercapaikan dan hal itu pula tidak hanya berlaku di daerah terpencil,
tapi hingga ke kota yang luas. Begitu pula, jejaknya yang mulia telah banyak
dicontoh oleh kalangan tingkat bawah dan atas yang diberi ilham dalam hatinya.
Ia pun mulai
membangun perusahaan dengan lembaran sisihan Departemen Sosial yang ia kelola.
Sehingga dengan hal itu, ia tak ingin selalu berpangku tangan dengan Departemen
Sosial yang selama ini turut berduka dan mengulurkan keluasan rezekinya. Hal itu
pun membuahkan hasil yang sempurna. Puluhan perusahaan sudah terbangun tanpa ia
meminta gaji se-logam pun. Hanya untuk saudara katanya.
Hari kebahagiaan
terus bergulir menghantarkan kesejahteraan pada masyarakat. Setiap hari, bulan,
tahun, dan bahkan berabad-abad. Daerah trotoar pun berubah kosong dan sunyi dari pada lantunan pujangga hati. Begitu pula dengan tempat pemberhentian kampung
tengah, ia telah rindu dengan nada tersebut. Akan tetapi, ia lebih bahagia
karena mereka bahagia. “Tak ku sangka si Pahlawan itu benar-benar sukses
mensejahterakan si Mungil”, kata salah satu tingkat menengah.
Terima kasih pun
mulai berentetan memujinya. Akan tetapi, ia tak pernah menghiraukan pujian itu.
“Sejahtera kalian adalah sejahteraku. Aku akan selalu berjuang untukmu saudara”,
katanya. Bergulir waktu yang begitu lama, tidak pernah lagi ditemukan manusia
penjaga jalanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarkan Pendapatmu Mengenai Blog Ini